Glutamat sebagai asam amino pertama kali ditemukan oleh Prof Ritthausen dari Jerman pada tahun 1866. Asam amino tersebut diperoleh dari proses isolasi protein gandum (gluten). Sayangnya, dia tidak mengetahui bahwa glutamate bebas ini memberikan efek menyedapkan rasa. Baru pada tahun 1908, Prof. Kikunae Ikeda dari Jepang berhasil menemukan fakta bahwa glutamat merupakan kunci rasa gurih dari sup rumput laut Jepang (Kombu). Rasa tersebut kemudian diidentifikasi sebagai rasa darasr ke lima, yang berbeda dari empat rasa dasar lainnya. Ia menamakannya sebagai “rasa Umami”. Penemuan tersebut member pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan industry pangan di dunia, sehingga Prof Ikeda diakui sebagai salah satu dari 10 penemu agung (The Great Inventor) di Jepang.
MSG pertama kali dijual di Jepang pada tahun 1909 oleh perusahaan Ajinomoto. Pada waktu itu MSG dihasilkan dari proses ekstrasi gluten. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. MSG kemudian diproduksi melalui proses fermentasi dengan menggunakan mikroorganisme. Bahan baku yang digunakan merupakan bahan alami antara lain gula tebu, singkong, jagung, sagu, gula bit, beras dan gandum. MSG pada tahun 1958 telah mendapatkan status GRAS atau Generally Recognized As Safe dari Badan POM Amerika Serikat (USFDA). Status tersebut sama seperti garam, lada putih, dan soda kue.
Kejadian penting berikutnya yang berkaitan dengan MSG adalah pada tahun 1968, ketika Dokter Robert Ho Mann Kwok menulis pengalaman pribadinya kepada editor The New England Journal of Medicine. Dia menceritakan gejala-gejala yang dialaminya setelah memakan makanan China, antara lain rasa kaku di leher yang kemudian menjalar pada kedua tangan dan punggung, rasa lemah seluruh badan, dan jantung berdebar-debar, yang dinamakan Chinese Restaurant Syndrom (CRS). Selain MSG, sebenarnya bahan – bahan lain yang dia duga sebagai penyebab CRS yaitu kecap, rice wine dan natrium yang berlebihan. Dia menyadari perlu dilakukan penelitian terhadap CRS. Cukup banyak penelitian terhadap CRS yang telah dilakukan, misalnya yang paling mutakhir dilakukan oleh Geha dkk. (2000) dengan metode “Multicenter Double Blind Placebo Controlled”. Hasilnya, 130 orang yang mengaku sensitif terhadap MSG tidak dapat membuktikan bahwa MSG sebagai penyebab gejala CRS yang mereka alami.
Setahun setelah Dr. Kwok menulis anekdot mengenai CRS, DR. John Olney dari Amerika Serikat pada tahun 1969 melaporkan kerusakan otak pada bayi tikus ketika diberikan MSG pada dosis sangat tinggi (0.5-4 g/kg berat badan, atau setara dengan 30-240 g pada manusia dengan berat badan 60 kg. pemberian MSG dilakukan dengan cara suntikan atau dengan makan paksa. Banyak peneliti menyadari metode penelitian DR. Olney ini tidak relevan dengan pemakaian MSG yang wajar, yaitu dalam dosis kecil bersama makanan. Misalnya, Takasaki dan kawan-kawan (1978 & 1979) melaporkan bahwa meskipun dalam dosis yang tinggi MSG yang diberikan bersama makanan tidak menyebabkan perubahan kadar glutamat dalam darah, dan tidak mengakibatkan kerusakan otak dalam jangak panjang. Penelitian lain yang dilakukan oleh Smith (2000) melaporkan bahwa kadar glutamat dalam otak tidak dipengaruhi oleh kadar glutamat dalam darah karena adanya mekanisme “Blood Brain Barrier” di otak.
Badan pangan dunia, yaitu Komite Ahli Bahan Tambahan Pangan dari gabungan organisasi FAO dan WHO (Joint Expert Committee on Food Additive atau JECFA) telah mengevaluasi keamanan MSG sebanyak empat kali, dan pada evaluasinya yang terakhir yaitu pada tahun 1987, JECFA memutuskan untuk memeberikan status asupan harian tanpa dinyatakan (Accepteble Daily Intake Not Specified) untuk MSG. Masyarakat Uni Eropa pada tahun 1991 juga memberikan status yang sama untuk MSG.
Pada umumnya tuduhan negatif terhadap MSG didasarkan pada penelitian dimana MSG diberikan ke tubuh secara tidak wajar dan dalam dosis yang sangat tinggi atau dengan metode penelitian yang rancu, misalnya mengenai isu kerusakan otak, kebutaan, dan asma. Namun demikian ada juga tuduhan-tuduhan yang membabi buta tanpa penelitian ilmiah apapun copntohnya CRS, kebodohan, malas, dan kebotakan. Berbagai tuduhan negative ini mempengaruhi sebagian konsumen sehingga memotivasi produsen pangan untuk menjual produk mereka dengan label “No MSG” atau “No Added MG”, meskipun sebenarnya semua makanan mengandung glutamate.
Sebagai antisipasi kesalahan persepsi konsumen terhadap MSG, beberapa Negara di dunia, telah mempertegas sikap mereka terhadap makanan berlabel “No MSG”. USFDA menyatakan pangan yang berlabel “No MSG” atau “NO Added MSG” menyesatkan apabila produk pangan tersebut mengandung bahan baku yang mengandung glutamate bebas, misalnya, protein kedelai terhidrolisa (HVP, Hydrolized Vegetable Protein). Pemerintah Kanada klaim “No MSG” tidak dapat diterima kecuali produk pangan tersebut tidak mengandung glutamate.
Di Indonesia, BPOM pada tahun 2007 telah mengeluarkan surat edaran yang melarang perusahaan pangan mengklaim produknya tanpa pengawet, tanpa pemanis buatan, tanpa pemutih, tanpa pewrna sintetik, dan pernyataan lain yang semakna untuk mencegah persepsi yang salah terhadap BTP. Selain menyesatkan konsumen, produk berlabel “No MSG” atau “NO Added MSG” juga berpotensi menyebabkan tingginya kadar natrium di dalam pangan, dimana hal ini berakibat buruk pada penderita darah tinggi yang sensitif terhadap natrium. Badan kesehatan internasional menganjurkan konsumsi natrium harian sebanyak 2000 mg atau setara satu sendo the garam per orang. Pangan berlabel “No MSG” atau “No Added MSG” cenderung menggunakan garam lebih bnayak untuk menyedapkan rasa. Garam mengandung Natrium tiga kali lebih banyak dari pada MSG. berdasarkan uji rasa, garam dalam makanan dapat dikurangi dan palatabilitas dapat dipertahankan dengan menggunakan MSG yang memberikan efek rasa umami. Cara ini dapat mengurani natrium dalam makanan 20-40%. Setahun lagi, pemakainan MSG di dunia akan genap berusia 100 tahun. Selama ini rasa umami dari MSG telah menstimulasi lidah dari setiap manusia di berbagai penjuru dunia. Umami juga dimanfaatkan oleh industry pangan dan ahli-ahli gizi untuk mempertahankan palatabilitas makanan akibat pengurangan garam dalam makanan.
Referensi : Artikel ini disalin secara sempurna dari tulisannya Turiadi (2008) seorang Advisor External Scientific Affairs, R&D Department PT. Ajinomoto Indonesia dalam majalah FoodReview.
MSG pertama kali dijual di Jepang pada tahun 1909 oleh perusahaan Ajinomoto. Pada waktu itu MSG dihasilkan dari proses ekstrasi gluten. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. MSG kemudian diproduksi melalui proses fermentasi dengan menggunakan mikroorganisme. Bahan baku yang digunakan merupakan bahan alami antara lain gula tebu, singkong, jagung, sagu, gula bit, beras dan gandum. MSG pada tahun 1958 telah mendapatkan status GRAS atau Generally Recognized As Safe dari Badan POM Amerika Serikat (USFDA). Status tersebut sama seperti garam, lada putih, dan soda kue.
Kejadian penting berikutnya yang berkaitan dengan MSG adalah pada tahun 1968, ketika Dokter Robert Ho Mann Kwok menulis pengalaman pribadinya kepada editor The New England Journal of Medicine. Dia menceritakan gejala-gejala yang dialaminya setelah memakan makanan China, antara lain rasa kaku di leher yang kemudian menjalar pada kedua tangan dan punggung, rasa lemah seluruh badan, dan jantung berdebar-debar, yang dinamakan Chinese Restaurant Syndrom (CRS). Selain MSG, sebenarnya bahan – bahan lain yang dia duga sebagai penyebab CRS yaitu kecap, rice wine dan natrium yang berlebihan. Dia menyadari perlu dilakukan penelitian terhadap CRS. Cukup banyak penelitian terhadap CRS yang telah dilakukan, misalnya yang paling mutakhir dilakukan oleh Geha dkk. (2000) dengan metode “Multicenter Double Blind Placebo Controlled”. Hasilnya, 130 orang yang mengaku sensitif terhadap MSG tidak dapat membuktikan bahwa MSG sebagai penyebab gejala CRS yang mereka alami.
Setahun setelah Dr. Kwok menulis anekdot mengenai CRS, DR. John Olney dari Amerika Serikat pada tahun 1969 melaporkan kerusakan otak pada bayi tikus ketika diberikan MSG pada dosis sangat tinggi (0.5-4 g/kg berat badan, atau setara dengan 30-240 g pada manusia dengan berat badan 60 kg. pemberian MSG dilakukan dengan cara suntikan atau dengan makan paksa. Banyak peneliti menyadari metode penelitian DR. Olney ini tidak relevan dengan pemakaian MSG yang wajar, yaitu dalam dosis kecil bersama makanan. Misalnya, Takasaki dan kawan-kawan (1978 & 1979) melaporkan bahwa meskipun dalam dosis yang tinggi MSG yang diberikan bersama makanan tidak menyebabkan perubahan kadar glutamat dalam darah, dan tidak mengakibatkan kerusakan otak dalam jangak panjang. Penelitian lain yang dilakukan oleh Smith (2000) melaporkan bahwa kadar glutamat dalam otak tidak dipengaruhi oleh kadar glutamat dalam darah karena adanya mekanisme “Blood Brain Barrier” di otak.
Badan pangan dunia, yaitu Komite Ahli Bahan Tambahan Pangan dari gabungan organisasi FAO dan WHO (Joint Expert Committee on Food Additive atau JECFA) telah mengevaluasi keamanan MSG sebanyak empat kali, dan pada evaluasinya yang terakhir yaitu pada tahun 1987, JECFA memutuskan untuk memeberikan status asupan harian tanpa dinyatakan (Accepteble Daily Intake Not Specified) untuk MSG. Masyarakat Uni Eropa pada tahun 1991 juga memberikan status yang sama untuk MSG.
Pada umumnya tuduhan negatif terhadap MSG didasarkan pada penelitian dimana MSG diberikan ke tubuh secara tidak wajar dan dalam dosis yang sangat tinggi atau dengan metode penelitian yang rancu, misalnya mengenai isu kerusakan otak, kebutaan, dan asma. Namun demikian ada juga tuduhan-tuduhan yang membabi buta tanpa penelitian ilmiah apapun copntohnya CRS, kebodohan, malas, dan kebotakan. Berbagai tuduhan negative ini mempengaruhi sebagian konsumen sehingga memotivasi produsen pangan untuk menjual produk mereka dengan label “No MSG” atau “No Added MG”, meskipun sebenarnya semua makanan mengandung glutamate.
Sebagai antisipasi kesalahan persepsi konsumen terhadap MSG, beberapa Negara di dunia, telah mempertegas sikap mereka terhadap makanan berlabel “No MSG”. USFDA menyatakan pangan yang berlabel “No MSG” atau “NO Added MSG” menyesatkan apabila produk pangan tersebut mengandung bahan baku yang mengandung glutamate bebas, misalnya, protein kedelai terhidrolisa (HVP, Hydrolized Vegetable Protein). Pemerintah Kanada klaim “No MSG” tidak dapat diterima kecuali produk pangan tersebut tidak mengandung glutamate.
Di Indonesia, BPOM pada tahun 2007 telah mengeluarkan surat edaran yang melarang perusahaan pangan mengklaim produknya tanpa pengawet, tanpa pemanis buatan, tanpa pemutih, tanpa pewrna sintetik, dan pernyataan lain yang semakna untuk mencegah persepsi yang salah terhadap BTP. Selain menyesatkan konsumen, produk berlabel “No MSG” atau “NO Added MSG” juga berpotensi menyebabkan tingginya kadar natrium di dalam pangan, dimana hal ini berakibat buruk pada penderita darah tinggi yang sensitif terhadap natrium. Badan kesehatan internasional menganjurkan konsumsi natrium harian sebanyak 2000 mg atau setara satu sendo the garam per orang. Pangan berlabel “No MSG” atau “No Added MSG” cenderung menggunakan garam lebih bnayak untuk menyedapkan rasa. Garam mengandung Natrium tiga kali lebih banyak dari pada MSG. berdasarkan uji rasa, garam dalam makanan dapat dikurangi dan palatabilitas dapat dipertahankan dengan menggunakan MSG yang memberikan efek rasa umami. Cara ini dapat mengurani natrium dalam makanan 20-40%. Setahun lagi, pemakainan MSG di dunia akan genap berusia 100 tahun. Selama ini rasa umami dari MSG telah menstimulasi lidah dari setiap manusia di berbagai penjuru dunia. Umami juga dimanfaatkan oleh industry pangan dan ahli-ahli gizi untuk mempertahankan palatabilitas makanan akibat pengurangan garam dalam makanan.
Referensi : Artikel ini disalin secara sempurna dari tulisannya Turiadi (2008) seorang Advisor External Scientific Affairs, R&D Department PT. Ajinomoto Indonesia dalam majalah FoodReview.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar